MANFAAT
PEKARANGAN
1.1
PENDAHULUAN
Menurut arti katanya, pekarangan
berasal ari kata “karang” yang berarti halaman rumah (Poerwodarminto, 1976).
Sedang secara luas, Terra (1948) memberikan batasan pengertian sebagai berikut:
“Pekarangan adalah tanah di sekitar
perumahan, kebanyakan berpagar keliling, dan biasanya ditanami padat dengan
beraneka macam tanaman semusim maupun tanaman tahunan untuk keperluan sendiri
sehari-hari dan untuk diperdangkan. Pekarangan kebanyakan slng berdekaan, dan
besama-sama membentuk kampung, dukuh, atau desa”.
Batasan pengertian ini, di dalam
praktek masih terus dipergunakan sampai sekitar dua puluh tahun kemudian.
Terbukti dari tulisan-tlisan Soeparma (1969), maupun Danoesastro (1973), masih
juga menggunakan definisi tersebut.
Baru setelah
Soemarwoto (1975) yang melihatnya sebagai suatu ekosistem, berhasil memberikan
definisi yang lebih lengkap dengan mengatakan bahwa:
“Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang
terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami
dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan
dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan fungsional yang
dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi,
serta hubungan biofisika”. (Danoesastro, 1978).
1.2
FUNGSI HUBUNGAN
SOSIAL BUDAYA
Ditinjau dari segi sosial budaya,
dewasa ini nampak ada kecenderungan bawa pekarangan dipandang tidak lebih jauh
dari fungsi estetikanya saja. Pandangan seperti ini nampak pada beberapa
anggota masyarakat pedesaan yang elah “maju”, terlebih pada masyarakat
perkotaan. Yaitu, dengan memenuhi pekarangannya dengan tanaman hias dengan
dikelilingi tembok atau pagar besi dengan gaya arsitektur “modern”.
Namun, bagi masyarakat pedesaan yang
masih “murni”, justru masih banyak didapati pekarangan yang tidak berpagar sama
sekali. Kalaupun berpagar, selalu ada bagian yang masih terbka atau diberi pinu
yang mudah dibuka oleh siapapun dengan maksud untuk tetap memberi keleluasaan bagi
masyarakat umum untuk keluar masuk pekarangannya.
Nampaknya, bagi masyarakat desa,
pekarangan juga mempunyai fungsi sebagai jalan umum (lurung) antar tetangga,
atar kampung, antar dkuh, ahkan antar desa satu dengan yang lainnya.
Di samping itu, pada setiap
pekarangan terdapat”pelataran” (Jawa) atau “buruan” (Sunda) yang dapat
dipergunakan sebagai tempat bemain anak-anak sekampung. Adanya kolam tempat
mandi atau sumur di dalam pekarangan, juga dapat dipergunakan oleh orang-orang sekampung
dengan bebas bahkan sekaligus merupakan tempat pertemuan mereka sebagai sarana
komunikasi masa (Soemarwoto, 1978).
Jadi, bagi masyarakat desa yang
asli, pekarangan bkanlah milik pribadi yang”eksklusif”, melainkan juga mempunai
fungsi sosial budaya di mana anggota masyarakat (termasuk anak-anak) dapat
bebas mempergunakannya untuk keperluan-keperluan yang bersifat sosial
kebudayaan pula.
1.3
FUNGSI HUBUNGAN
EKONOMI
Selain fungsi hubungan sosial
budaya, pekarangan juga memiliki fungsi hubungan ekonomi yang tidak kecil
artinya bagi masyarakat yang hidup di pedesaan.
Dari hasil survey pemanfaatan
pekarangan di Kalasan, disimpulkan oleh Danoesastro (1978), sedikitnya ada
empat fungsi pokok yang dipunyai pekarangan, yaitu (Tabel 1): sebagai sumber
bahan makanan, sebagai penhasil tanaman perdagangan, sebagai penghasl tanaman
rempah-rempah atau obat-obatan, dan juga sumber bebagai macam kayu-kayuan
(untuk kayu nakar, bahan bangunan, maupun bahan kerajinan).
Tabel 1. Daftar berbagai macam tanaman di pekarangan
petani di kelurahan Sampel, dikelompokkan menurut fungsina (Kecamatan Kalasan).
No.
|
Golongan Tanaman
|
Macam Tanamannya
|
I
|
Sumber bahan
makanan tambahan :
1.
Tanaman karbohdrat
2.
Tanaman sayuran
3.
Buah-buahan
4.
Lain-lain
|
Ubikayu,
ganyong, uwi, gembolo, tales,garut dll.
Mlinjo, koro,
nangka, pete.
Pepaya, salak,
mangga, jeruk, duku, jambu, pakel, mundu, dll.
Sirih.
|
II
|
Tanaman
perdagangan
|
Kelapa,
cengkeh, rambutan.
|
III
|
Rempah-rempah,
obat-obatan.
|
Jahe, laos,
kunir, kencur, dll.
|
IV
|
Kayu-kayuan:
1.
Kayu bakar
2.
Bahan bangunan
3.
Bahan kerajinan
|
Munggur,
mahoni, lmtoro.
Jati, sono,
bambu, wadang.
Bambu, pandan,
dll.
|
Sumber:
Danoesastro, 1978.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan
tersebutlah, maka Danoesastro (1977) sampai pada kesimpulan bahwa bagi
masyarakat pedesaan, pekarangan dapat dipandang sebagai “lumbung hidup” yang
tiap tahun diperlukan untuk mengatasi paceklik, dan sekaligus juga merupakan
“terugval basis” atau pangkalan induk yang sewaktu-waktu dapat dimabil
manfaatnya apabila usahatani di sawah atau tegalan mengalami bencana atau
kegagalan akibat serangan hama/penyakit, banjir, kekeringan dan bencana alam
yang lain.
1.4
FUNGSI HUBUNGAN
BIOFISIKA
Pada pandangan pertama, bagi orang
“kota” yang baru pertama kali turun masuk desa, akan nampak olehnya sistem
pekarangan yang ditanami secara acak-acakan dengan segala macam jenis tanaman
dan sering pula menimbukan kesan “menjijikkan” karena adanya kotoran hewan
ternak di sana sini. Namun, dalam penelitian menunjukkan, bahwa keadaan serupa
itu adalah merupakan manifestasi kemanunggalan manusia dengan lingkungannya
sebagaimana yang telah diajarkan nenek moyangnya.
Di daerah Sunda misalnya, tetapi
terdapat pandangan ang oleh Hidding (1935) disebutkan:
“Manusia adalah bagian dalam dan
dari satu kesatuan yang besar ..........Semua mempunai tempatna sendiri dari
tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri.....
Dalam teori kebatinan Jawa,
disebutkan bahwa sesuatu yang ada dan yang hidup pada pokoknya satu dan
tunggal. Bahkan, justru pola pengusahaan pekarangan seperti itulah ternyata, yang
secara alamiah diakui sebagi persyaratan demi berlangsungnya proses daur ulang
(recycling) secara natural (alami) yang paling efektif dan efisien, sehingga
pada kehidupan masyarakat desa tidak mengenal zat buangan. Apa yang menjadi zat
buangan dari suatu proses, merupakan sumberdaya yang dipergunakan dalam proses
berikutnya yang lain. Sebagai contoh, segala macam sampah dan kotoran ternak
dikumpulkan menjadi kompos untuk pupuk
tanaman. Sisa dapur, sisa-sisa makanan, kotoran manusia dan ternak dibuang ke
kolam untuk dimakan ikan.
Ikan dan hasil tanaman (daun, bunga, atau buahnya) dimakan manusia, kotoran
manusia dan sampah dibuang ke kolam atau untuk kompos, demikian seterusnya
tanpa berhenti dan berulang-ulang.
Dengan demikian kalaupun dalam proses
kemajuan peradaban manusia ada sesuatu yang perlu diperbaki seperti: pembuatan
jamban
Keluarga di atas
kolam, sistem daur ulang yang tidak baik dan efisiensi harus tetap terjaga
kelangsungannya.
1.5 DAMPAK MODERNISASI YANG MEMPERIHATINKAN
Tetapi sayang, berbaai fungsi dari
pekarangan yang begitu kompleks dan mencakup banyak segi kehidupan manusia
serta pelestarian lingkungan itu kan mengalami “erosi” yang memprihatinkan
karena sering hanya dijadikan korban untuk memenuhi alasan “modernisasi”.
Proyek-proyek
pembangunan industri dan prasarana lain di desa pinggiran sering kurang
memperhitungkan bahwa, pembangunan kompleks perumahan karyawannya yang
terlampau mewah dibandingkan dengan perumahan penhuni asli dan yang dipagar
keliling rapat serta mewah pula itu merupakan isolasi bagi masyarakat penatang
dengan lingkungannya yang bisa menimbulkan ketegangan sosial dan kriminalitas.
Lebih-lebih
jika pembangunan itu sendiri membutuhkan tanah urug yang harus diambilkan dari
tanah lapisan aas (top soil) pekarangan penduduk di sekitarnya. Penduduk asli
tidak saja menjadi kehilangan “lumbung hidup” atau “pangkalan induknya” karena
pekarangan dan tegalannya tidak produktif lagi, tetapi sekalgus kualitas
lingkungannya menjadi rusak karena daur ualng idak lagi berlangsung lancar.
Pengaruh
pembangunan yang kurang bijak, modernisasi perumahan yang mengganti tanaman pekarangan menjadi tanaman hias dan
agar hidup yang berubah menjadi tembol atau tulang besi, sebenarnya sangat
disayangkan. Modernisasi memang harus tumbuh, tetapi bkan dengan merusak
lingkungan hidup. Peningkatan kesejahteraan lahiriah memang salah satu tuntutan
hidup, tetapi bukan dengan menciptakan masayarakat eksklusif yang mengisolir
diri. Kurangnya halaman tempat bermain bagi anak-anak mungkin saja dapat
dialihkan, tetapi keakraban anak-anak sekampung yang merenggang akan dapat
berbalik menjadi iri dengki, dan dendam yang tersembuni. Itulah masalahnya.
1.6
DAFTAR ACUAN
Danoesastro, Haryono
: “Tanaman Pekarangan dalam Usaha
Meningkatkan Ketahanan Rakat Pedesaan”. Agro – Ekonomi. Maret 1978.
__________________- : Survai Pekarangan Kecamatan
Kalasan,kerjasama Fakultas Pertanian UGM
dengan Diperta Daerah Istimewa Yagyakarta. 1979.
__________________ : Pemanfaatan Pekarangan. Yayaan Pembina
Fakulas Pertanian UGM. Yogyakarta, 1979.
Hidding, K.A.H. : Gebruiken en Godsdients der
Soendaneezen G. Kolff & Co. Hal. 24. Batavia. 1975.
Soemarwotto,
O : “Pegaruh
Lingkungan Proyek Pembangunan”. Prisma, N.3 Juli 1975.
_____________ :
Ekologi Desa: Lingkungan Hidup dan Kualitas Hdup. Prisma,
No. 8, September 1978.
Terra, G.J.A. : Tuinbouw : Van Hall en C. Van de. Koppel :
De Landbouw in de indische archpel.IIA, 1949. Terjemahan Haryono Danoesastro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar